Senin, 19 November 2012

Sejarah Masyarakat Bugis Pagatan, Kabupaten Tanah Bumbu, Kal-sel

Mappanretasi Warisan Tradisi Raja Pagatan








Mappanretasi yang sebelumnya dikenal dengan istilah Masorong, atau biasa disebut Pesta Nelayan Masyarakat Pagatan adalah bagian dari warisan budaya Kerajaan Pagatan dan Kusan yang sangat disakralkan, khususnya bagi Nelayan Bugis Pagatan.


Karyono, Pagatan


Ritual adatnya, seperti diceritakan Andi Jaya –cicit Raja Pagatan Terakhir
Andi Sallo Aroeng Abdoerahim bin Pangeran Moeda Mandi Arifbillah Radja Tanah Bumbu, yakni dengan melakukan berbagai ritual Mellarung atau memilirkan sesajen berupa kepala kerbau, ayam, nasi tumpeng, dan beberapa gram emas kelaut, untuk dipersembahkan kepada Sawerigading (Penguasa Laut) di Wilayah Timur Nusantara oleh Sandro (pemimpin upacara adat). Ayam yang dilarutkan pun tidak sembarang ayam, harus ayam cemani atau gading.
“Namun, sebelum acara puncak mappanretasi, pada malam harinya Sandro dan para dayangnya melakukan ritual khusus seperti memasak ketan, pada jam-jam tertentu,” jelasnya.

Meskipun Kerajaan Pagatan dan Kusan telah berakhir sejak tahun 1918, Mappanretasi masih tetap lestari dilaksanakan oleh para nelayan setempat. Hingga pada dekade 1950-1960, Mappanretasi dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi.

“Karena ritual ini sempat mencuat kepermukaan dengan beragam kontroversi, antara syirik di mata ajaran agama Islam dan warisan leluhur Suku Bugis Pagatan,” jelasnya.

Namun, ujar dia, sejak ditetapkannya setiap tanggal 6 April sebagai Hari Nelayan secara Nasional, hal ini dijadikan wadah tradisi silaturrahmi semua elemen Masyarakat Pagatan. Hingga setelah Kongres Nelayan tahun 1960 di Solo, ditetapkannya 6 April sebagai Hari Nelayan secara Nasional itu, maka Mappanretasi kembali dilaksanakan secara terbuka dengan kemasan baru berbalut kebudayaan.

“Namun ada perubahan pada sesajennya, jika sebelumnya kepala kerbau dilarutkan ke tengah laut, kini justru dinikmati bersama-sama sebagai hidangan pada acara syukuran massal, sebagai ungkapan rasa syukur para nelayan atas berkah dan nikmat yang diberikan kepada mereka,” paparnya seraya mengatakan itu dilakukan dengan harapan agar mereka selalu diberikan keselamatan dan rejeki yang melimpah ketika mencari ikan ditengah ganasnya gelombang.
Sejak tahun itu, seluruh masyarakat bugis pagatan sepakat untuk melestarikan budaya mereka tersebut di setiap bulan April sekaligus sebagai agenda wisata nasional.
Sementara itu, warisan budaya kerajaan Pagatan dan Kusan lainnya, bisa dilihat dari struktur bangunan rumah tradisional milik masyarakat Kota Pagatan. Berbentuk panggung menyerupai istana Raja Pagatan waktu dulu. Namun, rumah panggung tersebut hanya ditemui di daerah pedesaan saja, dan jumlahnya tidak banyak.
“Tapi rumah panggung yang ada sekarang tidak setinggi dulu. Jaman Raja Pagatan, rumah panggung bisa dilewati kuda yang ditunggangi oleh pengawal kerajaan,” kata Andi Jaya.

Saat ini, rumah panggung yang ada di pedesaan biasa digunakan oleh petani untuk menyimpan hasil pertanian dan perkebunan mereka, seperti tanaman padi dan palawija. Selain itu untuk beternak ayam maupun bebek.

Menurutnya, sejak pemerintahan belanda dulu, Kota Pagatan begitu tertata rapi. Drainase (saluran pembuangan air) dibangun dengan begitu kuatnya, dan bisa bertahan hingga sekarang. Begitu juga makam Raja-raja Pagatan hingga sekarang masih terpelihara.
“Setiap pojok jalan di pasangi lampu penerang yang hidup mulai jam 6 sore hingga 6 pagi. Lampu-lampu itu dijaga oleh opas (polisi belanda),” jelasnya.  

Dahulu, ujar Andi Jaya, pagatan dikenal sebagai penghasil kopra (kelapa yang dikeringkan) dan karet. Bahkan, kopra dan karet tersebut di ekspor hingga ke luar negeri dengan menggunakan kapal-kapal besar milik pemerintahan Belanda melalui pelabuhan besar yang terdapat di Pagatan.

“Masyarakat pagatan dulu juga penghasil padi, namun hanya di konsumsi sendiri saja,” kata Andi Jaya.
Masih berbicara zaman dulu, Pagatan menurut Andi mulanya merupakan wilayah dengan sungai-sungai besar. Bahkan, pada tahun 1973 Sungai Kusan dijadikan sarana untuk mengangkut kayu gelondongan yang memiliki ukuran diameter 2 meter.    
Namun, seiring bertambahnya penduduk, sejak tahun 1980, sungai-sungai besar tersebut menyempit karena banyak dibangun permukiman masyarakat di bantaran sungai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar