Lama tidak menulis sesuatu, ada saja yang terasa kurang, entah ini entah itu. Ya, banyak alasan seseorang tidak menulis, banyak pula alasan mengapa seseorang menulis. Menulis merupakan sarana yang indah untuk menyebarluaskan sesuatu hal yang ingin kita ingin agar orang yang membacanya tahu akan apa yang terkandung dalam tulisan itu.
Hidup itu memang seperti ombak, kadang pasang kadang surut,
kalau lagi berjaya kita begitu bahagia, kalau lagi ambruk, rasanya
begitu menderita. Kalau kita pahami secara benar, segala fenomena ini
sebenarnya berakar dari pikiran kita sendiri. Mengapa bisa
demikian? Coba kita sadari, kala kita memikirkan sesuatu, kita ingin
mendapatkannya, tetapi hasilnya tidaklah sebagaimana yang kita inginkan,
bukankah kita merasa sedih dan menderita. Andai saja kita tidak
memikirkannya, mungkin akar permasalahan itu tidak akan pernah tumbuh
menjadi sebuah pohon yang besar yang sekiranya akan menyulitkan diri
kita sendiri.
Berjumpa dengan yang kita tidak senangi maupun berpisah
dengan yang kita cintai, begitulah fenomena yang senantiasa hadir dalam
perjalanan kita mengarungi kehidupan ini. Tak ada orang yang
sepenuhnya dapat senantiasa merasakan kebahagiaan setiap hari dalam
kehidupannya, ini juga berlaku bagi orang terkaya di dunia ini. Kelak
dan pasti, seseorang akan mengalami kesedihan, entah karena hartanya
dirampok, ditinggal orang yang dicintai (habisnya usia kehidupan),
sakit, tua, dan akhirnya harus mengalami tutup usia. Apa yang dapat kita
pelajari dalam hidup yang begitu singkat ini? Kita bukanlah makhluk
abadi yang senantiasa dapat mengikuti proses perubahan di dunia ini.
Bahkan sangat sulit untuk manusia di era masa kini mampu mencapai usia
100 tahun (hampir mustahil). Kalau direnungkan, dapat mencapai usia 70
tahun saja sudah patut bersyukur.
Usia begitu singkat, manusia berlomba-lomba mengumpulkan kekayaan tanpa batas, ketika miskin berpikir, “besok kita mau makan apa?“, ketika sudah masuk golongan menengah berpikir, “besok makan di mana?“, ketika sudah kaya berpikir, “besok makan siapa?“.
Itulah realita kehidupan yang sulit dipungkiri, ada akar keserakahan
dalam diri, tak pernah puas dengan apa yang telah diperoleh. Kalau sudah
memperoleh apa yang diinginkan, niscaya akan melupakan maksud mulia
yang dahulu pernah diikrarkannya, misalnya, “kalau aku sudah kaya, aku mau membangun rumah sakit, menyumbang ke yayasan, dan lain-lain“, yang kesemuanya itu pada awalnya begitu indah, tetapi pahit pada akhir ceritanya. Sudah
merupakan sifat asal manusia, melupakan apa yang telah berlalu,
terutama kenangan pahit. Akan tetapi, kenangan indah pun terkadang
dilupakan.
Ada contoh lain, misalnya ketika kita masih lajang, bertemu dengan
seorang wanita yang masih muda belia, dalam hati kita berpikir,
“alangkah bahagianya aku jika aku bisa hidup bersama dengan putri jelita
ini”. Ok, kemudian anda berhasil menikahinya, anda tetap bahagia. Akan
tetapi, sesungguhnya, paras cantik adalah alasan anda meminang wanita
itu, dan memang, ada pepatah yang mengatakan “cantik itu relatif, tapi, jelek itu mutlak“.
Wah, kalau begini dasar anda memilih pasangan anda, yakinlah anda masih
bahagia, tapi hanya untuk sementara waktu. Mengapa? Karena anda belum
menemukan tandingan dari putri jelita itu. Dunia ini memang tidak
selebar daun kelor, tapi dunia ini cukup luas untuk dihuni milyaran
manusia di permukaannya. Kalau ada seorang yang parasnya rupawan, pasti
ada yang lebih rupawan lagi. Anda tak bisa memastikan, “apakah saya masih bisa mencintai wanita ini kelak, 10 tahun lagi, 20 tahun lagi, 30 tahun lagi, dst.“.
Fisik adalah harga mati yang pasti akan mengalami perubahan! Anda akan
menyaksikan wanita yang anda cintai keriput, mulai bongkok di usia
senja. Ok, kalau orang sudah tua ya pasti begitu. Bagaimana kalau
sehabis kelahiran anak pertama, istri anda itu tiba-tiba badannya melar?
Apalagi kelahiran anak kedua? Bagaimana kalau istri yang anda cintai
adalah wanita yang doyan kehidupan glamor, pesta, berdandan ala
selebritis? Penghasilan perbulan anda lebih kecil daripada kebutuhan
istri anda, yang ternyata juga seorang wanita pemalas yang tidak pernah
mengasihani jerih payah suaminya? Mencampakkan suaminya ketika suaminya
diambang kemelaratan, yang tidak lain akibat istri durhaka itu?
Ok, anda mempunyai istri yang baik budi, setia, tidak berfoya-foya,
pandai, dan penyayang. Dapatkah anda memastikan, perjalanan hidup buah
hati (anak) anda selalu dalam kejayaan? Orang tua senantiasa was-was
akan keadaan yang menimpa anaknya. Entah dalam masa menimba ilmu,
berkarir, berumah tangga, dan lainnya. Contoh sederhana, bagaimana bila
buah hati anda mandek dalam karir menimba ilmu di sekolah, tidak naik
kelas, pemalas, hanya doyan bermain, menyukai permainan dan membenci
buku, senang bergaul dengan yang tidak pantas diajak bergaul dan
menjauhi orang yang pantas diajak bergaul, menyayangi teman sekolah yang
buruk perilakunya dan membenci guru yang pantas dihormatinya?
Renungkanlah realita ini. Anda mungkin yakin, jika orang tua baik, pasti
anak baik, saya katakan, “belum tentu”. Bagaimana jika anak anda tumbuh
sebagai seorang pendusta besar? Yang parahnya, anda tidak menyadari
akan hal itu. Tak pelak, anak manja itu tumbuh dalam perlindungan orang
tua yang salah, yang kelak dan pasti akan menyebabkan penderitaan yang
berkepanjangan, di kemudian hari.
Ada orang yang berkata, “anak kecil tidak mungkin berbohong”. Saya
katakan, “pikiran anda sungguh sangat sempit sekali…, kasihan kalau
orang tua berpikir seperti ini, ini menandakan orang tua tidak
mempersiapkan diri secara baik untuk berprofesi sebagai orang tua yang
baik!”. Sedari seorang anak mempersiapkan diri untuk menginjak bangku
sekolah, sedari itu pula, sang anak telah siap untuk memasuki realita
pergaulan yang beragam dengan kondisi yang beragam, sedari itu pula
kebohongan telah tertanam dalam diri sang anak. Saya ingin bertanya,
“apakah seorang koruptor, dahulunya adalah seorang anak kecil? Apakah
seorang perampok, dahulunya adalah seorang anak kecil? Apakah seorang
pembunuh, dahulunya adalah seorang anak kecil?”. Jika ya, berarti anda
telah menyadari realita ini, anak kecil dapat diibaratkan sebagai bubuk
semen yang baru saja dicampur dengan air, ia dapat diaduk, selama diaduk
dengan baik dan ditambahkan air (pelajaran yang baik), ia akan memiliki
sifat lunak. Bagaimana bila tidak diaduk dan ditambah air? Ia akan
mengeras. Kalau sudah begini, sebagai orang tua menangis darah pun sudah
tidak berguna.
Jangan kira, anak kita nakal dan malas, tidak patuh, tidak hormat dan
ini dan itu, karena kita berpikir dia masih kecil dan nanti kelak
setelah dewasa pasti bisa berubah menjadi baik, simsalabim, ia akan jadi
orang bijak dan baik. Itu mustahil! Kehidupan ini berjalan sebagaimana
hukum fisika, “ada aksi, ada reaksi!”. Bagaimana mungkin seorang wanita
yang tidak kita kenal bisa menjadi istri kita dikemudian hari, bila kita
tidak pernah mau berkenalan dengan dia? Ini pasti lebih mudah dijawab
daripada menjawab soal berhitung.
Itulah realita hidup, senantiasa dipenuhi dengan hal yang tidak
pasti, dan selalu ada bumbu kesedihan di dalamnya. Takkan ada orang yang
dapat merasakan kebahagiaan sepanjang hayatnya. Takkan ada orang yang
selalu terpenuhi keinginannya. Pun, tak ada orang yang kelak tidak akan
ditinggalkan orang yang dicintainya. Tapi, satu hal yang pasti, kita
bisa memberikan kebahagiaan bagi orang lain. Niscaya, berkat perbuatan
memberikan kebahagiaan bagi orang lain, kita pun dapat merasakan
kebahagiaan itu. Dunia tidak akan memberi pada kita, jika kita tidak
memutuskan untuk memberi kepada dunia. Hukum aksi-reaksi selalu ada
dalam kisah petualangan hidup kita mengarungi dunia ini dalam lingkup
usia manusia yang begitu terbatas.
knp gk ad followny??
BalasHapus